Tapi iya, aku punya cita - cita berada di benua kangguru. Australia.
Ya, berawal dari sebuah ceramah di sekolah menengah atas. Sebuah prinsip tertanam lekat di kepala.
Rezeki harus halal.
Kalau ngga halal, ya bukan rezeki. Haram di pakai apalagi dibagi bagi.
Untuk mendapatkan rezeki halal, berarti melakukan sesuatu yang baik. Rejeki halal yang banyak, berarti banyak hal yang baik. Banyak hal yang baik...hum...
Aku langsung jauh berpikir ke depan. bahwa masa remaja hanya sebentar, dan harus menjadi landasan mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik ke depannya. Lalu, apa yang harus dilakukan?
Seperti layaknya remaja lainnya, yang terpikir di benak adalah mendapat pekerjaan yang enak. gaji besar, tunjangan banyak. sehingga bisa hidup dengan layak. mempersiapkan pensiun tenang dan tetap bisa makan enak.
Wah, gambaran idealnya seperti itu.
Lalu apa prosesnya menuju ke sana?
Selepas SMA ini, aku harus masuk ke perguruan tinggi negeri.
Kalau tak berhasil?
Aku harus menjadi lulusan luar negeri!
ya, perguruan tinggi negeri, atau lulusan luar negeri.
hanya itu rencananya.
rencana pertama terbukti gagal dalam sebuah surat pengumuman, aku tak dinyatakan lulus di perguruan negeri manapun.
Baiklah, rencana kedua.
Menjadi lulusan luar negeri.
Mudahkah?
Ternyata tidak.
Apalagi aku bukan berasal dari keluarga yang berkelebihan.
Aku anak kedua, masih ada banyak adik yang harus bersekolah.
Kakak pertamaku juga masih kuliah.
lalu apa?
Jalan keluarnya adalah bekerja di luar negeri untuk membiayai studi.
Australia. Aku memilihnya setelah lama mencari info tentang negara yang memiliki banyak harapan untuk pendatang. Dengan pengangguran jauh dibawah 5%,benua ini menyediakan banyak lahan pekerjaan, bahkan untuk kaum migran. Terutama karena Australia telah memiliki peraturan khusus untuk melindungi kaum migran di negaranya.
Masalahnya...mendapatkan perijinannya sangat tidak mudah.
Keluarga hanya bisa mendoakan ku, dan tetap mendukungku dengan tidak meremehkan mimpiku seperti beberapa orang lainnya.
Di saat banyak orang tersenyum sinis saat mendengar rencanaku, Abah dan Umi selalu tersenyum dan menguatkanku dengan anggukkannya.
"Asal kamu yakin, kami akan mendukungmu"
Sebuah kalimat singkat yang terus membesarkan hatiku saat visaku kembali dan kembali ditolak oleh kedutaan Australia.
Saat itu tahun 80 an. Sebuah penolakan akan terlihat pada visa berupa stempel merah. Bila sebuah kedutaan sudah menaruh stempel itu, maka akan sulit mendapatkan perijinan di negara lain pula.
Akhirnya, aku mencobanya dengan membuat visa baru, lagi dan lagi.
Ditolak, aku buat lagi. Baru, ajukan lagi, ditolak lagi. Dan seperti itu berulang kali.
Sampai suatu makan malam, dalam sisa semangat yang aku miliki, aku berkata pada Abah.
"Kalau memang bukan Australia, ke Arab pun Ai mau, Bah! Ai mau kerja di Arab, ngumpulin uang buat sekolah di luar negeri."
Abah menatapku lembut. Melihat semua bercampur di sana. Putus asa, semangat, dan tekad.
Abah mengangguk.
"Iya, besok kita coba ke pamanmu, dia biasa mengurus TKI ke Arab."
Sisa makan malam berlangsung dingin. Dengan sesekali Umi menatap ke arahku dengan pandangan khawatir.
Siang itu di sebuah kantor PJTKI.
Pamanku mencoba melihat seberapa besar keinginanku. Lebih tepatnya, keberanianku untuk mengadu nasib ke tanah Arab. Namun, sudah bulat, apapun akan ku lakukan. Aku punya mimpi, dan aku yakin bisa kuwujudkan. Aku mengangguk mantap.
"Sebenarnya, Ai awalnya mau ke Australia, tapi tidak disetujui." Ungkap Abah tenang.
Pamanku menatapku lagi.
"Bila pilihannya Arab atau Australia, mana yang kau pilih?"
Tentu saja Australia. Kenapa?
Pamanku memberikan ide, bagaimana bila melalui jalur singapura.
Dia memiliki rekan di sana. Yang mungkin bisa membantuku untuk mendapatkan perijinan menuju Australia.
Harapan kembali berpendar. Untuk benar - benar bisa berada di sana.
Semuanya disiapkan.
Bahkan terlihat janggal. Remaja usia belasan dengan pakaian tuxedo resmi dan koper besar.
Sendiri. Bertolak dari Indonesia ke Singapura untuk mengurus perijinannya menuju Australia.
Jangan bayangkan itu mudah seperti sekarang, semua terjadi di era 80 an.
Di masa itu sebuah telepon rumah bahkan merupakan sebuah kemewahan.
Komunikasi masih harus menggunakan surat menyurat atau bila memungkinkan dengan teleks. Sebuah telegram personal yang dimiliki segelintir orang saja, termasuk orang yang seharusnya menemui di bandara.
Tapi sampai beberapa jam di bandara Singapura, tak ada seseorang pun menemui ku atau yang mirip dengan wajah dalam foto di tanganku.
Tak ada seorangpun.
Aku seorang diri.
Setelah menenangkan diri, aku ingat, bahwa dimanapun aku berada, Allah ada di sana.
Dengan berbekal alamat di balik foto yang kudapatkan dari pamanku, aku memberhentikan taksi dan memberikan alamat itu pada sopir.
Oh, belum. belum selesai horornya, sang sopir membaca alamat dan berkernyit.
Ia bilang ia tidak pernah tahu ada alamat seperti itu.
Sebuah buku diberikan padaku, buku peta, seluruh wilayah Singapura ada di sana.
Ayolah, Singapura memang negara kecil, tapi kalau aku harus berkeliling seantero Singapura sepertinya bukan ide cerdas. Maka ku terima buku peta itu walau ini adalah pertama kalinya aku harus menggunakannya. Allah ada di sana, Ia memberikan ilham untuk segera mencari nama jalan di alamat pada halaman index. Benar, tak ada yang sama dengan yang tertulis.
Alamak.
Lalu bagaimana ini?
Lagi, Allah memberikan kekuasaanNya menenangkanku dan melihat sebuah jalan bernama mirip dengan yang tertulis. Aku besarkan harapanku, dan berkata pada sang sopir agar menuju jalan itu. Sepanjang jalan, mataku tak lepas dari argo yang terus bertambah dan hatiku terus berdoa. Allah, jangan tinggalkan aku. Aku yakin Kau ada dimanapun aku.
Taksi berhenti, ku bayar sesuai argo. Namun ia bersedia menungguku.
Entahlah, mungkin iba juga kali ya? Remaja Asia dengan kostum seperti sedang prom sekolah berkeliaran sendirian tanpa tahu arah.
Di nomor flat yang sesuai dengan yang dituliskan, aku baca doa dan harapanku.
Pintu ku ketuk, dan harap harap cemas menunggu.
Saat pintu dibuka, wajah di foto muncul dari baliknya.
Alhamdulillah. Aku berada di tempat yang benar. Ku lambaikan tanganku memberikan pemberitahuan itu.
Sang supir taksi melambaikan tangan memberikan selamat, lalu pergi meninggalkanku.
Paman Aswad, begitu aku memanggil teman pamanku ini. Ternyata ia belum membaca teleks yang dikirimkan pamanku untuknya. Namun, ia tetap menerimaku dan memberikan beberapa petuah, tentang bagaimana keadaanku di Australia kelak dan beberapa yang harus aku lakukan sebagai imigran ilegal di sana.
Sebenarnya aku akan masuk secara legal.
hanya saja, ijin legalku hanya beberapa hari saja, berupa visa kunjungan.
setelah ijin tinggalku habis, maka keberadaanku di Australia adalah orang gelap, ilegal.
Untuk beberapa orang, keberadaan orang gelap ini adalah sumber uang. Karena bila seseorang melaporkan keberadaan orang ilegal di daerahnya, saat tertangkap dan terbukti, maka sang pelapor bisa mendapatkan sejumlah uang dari pemerintahan Australia. Berlaku kelipatan, jadi semakin banyak laporan dan pembuktian, semakin banyak uang mereka dapatkan. Waduh!
Salah satu caranya adalah dengan membatasi diri. jangan percaya siapapun. jangan bergaul dengan siapapun. Yang pasti, jangan sampai berurusan dengan polisi, itu artinya deportasi!
Itu juga berarti mimpiku terhenti. tak ada lagi luar negeri.
Baiklah, aku sudah kadung di sini. Aku ambil semua resiko, apapun itu. Asal aku bisa meraih mimpiku.
Paman Aswad mengijinkanku tinggal beberapa hari di tempatnya sambil mengurus perijinanku.
ia juga memberikan celah agar aku bisa mendapatkan ijin tinggal resmi di Australia sana, bekerja yang baik dan dapatkan perusahaan yang mau mensponsori ijin tinggal resmiku. Setelah aku mendapatkan ijin resmi dari sponsor perusahaan, maka mulailah membangun mimpiku yang lain. Bersekolah di Australia
Ketika visa Australia ku dapatkan di tanganku, aku yakin, ini awal dari mimpiku.
Kamu tahu apa artinya mendapatkan yang selama ini sangat susah kamu capai? Sebuah kebahagiaan. Apalagi bila itu berarti awal dari rentetan rencana besar yang kau harapkan.
Walau prosesnya berliku, visa Australia, sudah aku miliki.
Rencana besar dimulai. Kangguru, aku datang!